Berharap pada Anggota Parlemen Perempuan!
Selama ini, parlemen (DPR/DPRD)
identik dengan arena laki-laki. Bukan hanya karena parlemen (dan politik)
didominasi oleh manusia berjenis kelamin laki-laki, tetapi juga merupakan arena
yang dianggap keras, kasar, kotor, licik, dan sejumlah stigma lainnya, yang
dianggap sebagai wilayah laki-laki. Karena
itu, perempuan yang berhasil menjadi anggota parlemen dianggap sebagai
perempuan hebat dan kuat, karena mampu bersaing dengan laki-laki. Namun,
anggapan ini tidak selalu positif bagi perempuan. Perempuan yang dianggap
“hebat” atau “kuat” dan dapat bersaing dengan laki-laki, karena menggunakan
cara-cara yang yang juga keras, kasar, kotor, dan licik. Penggambaran perempuan bisa bersaing atau dapat
mengalahkan laki-laki selalu identik dengan penggunaan cara-cara dan kekuatan
negatif. Lihatlah film dan sinetron yang menggambarkan perempuan kuat dan dapat
mengalahkan laki-laki sebagai Mak Lampir, Nyi Roro Kidul, Suster Ngesot, setan,
hantu, dan penjahat lainnya. Padahal, untuk menjadi anggota parlemen,
seperti profesi di wilayah publik lainnya, selalu menghendaki kemampuan,
keahlian, jaringan, dan strategi. Apa yang dilakukan oleh laki-laki untuk
menjadi anggota parlemen atau meraih suatu profesi di wilayah publik, itu juga
yang dilakukan oleh perempuan.
Kalah Jumlah
Sejarah memberi pelajaran bahwa, dominasi terhadap jenis kelamin, ras, warna kulit, dan kehidupan sosial-ekonomi, bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah atau turun dari langit, melainkan dibuat, disosialisasi, dan dilestarikan oleh kekuasaan. Perempuan dibuat untuk menjadi manusia kelas dua di berbagai ras, warna kulit, dan kelompok sosial dengan berbagai legitimasi, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Karena itu, ketika perempuan menempati posisi minoritas dalam berbagai arena publik, termasuk di parlemen, bukan karena perempuan kalah dalam jumlah, atau mereka hanya mewakili kelompok kecil, tetapi karena mereka dibuat sehingga kalah dalam kualitas dan kesempatan.
Kalah Jumlah
Sejarah memberi pelajaran bahwa, dominasi terhadap jenis kelamin, ras, warna kulit, dan kehidupan sosial-ekonomi, bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah atau turun dari langit, melainkan dibuat, disosialisasi, dan dilestarikan oleh kekuasaan. Perempuan dibuat untuk menjadi manusia kelas dua di berbagai ras, warna kulit, dan kelompok sosial dengan berbagai legitimasi, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Karena itu, ketika perempuan menempati posisi minoritas dalam berbagai arena publik, termasuk di parlemen, bukan karena perempuan kalah dalam jumlah, atau mereka hanya mewakili kelompok kecil, tetapi karena mereka dibuat sehingga kalah dalam kualitas dan kesempatan.
Untuk menjadi politisi dan
anggota parlemen, perempuan sudah sangat jauh tertinggal. Pendidikan yang
dianggap sebagai institusi untuk mempersiapkan sumber daya manusia menampung
jumlah perempuan yang banyak di tingkat pendidikan terendah (SD). Jumlah
perempuan terus menurun di tingkat pendidikan yang semakin tinggi (SMP, SMA,
PT). Demikian juga kesempatan perempuan untuk meningkatkan kapasitas melalui
organisasi dan perkumpulan sering terhalang oleh sistem masyarakat patriarki. Kesempatan perempuan mengembangkan karir di
arena politik tidak selalu mulus, karena terhalang oleh berbagai kultur dan
struktur sosial. Laki-laki yang mempunyai kekuasaan (politik, ekonomi, sosial,
agama) tidak rela dipimpin oleh perempuan. Karena itu, segala macam cara
dilakukan oleh laki-laki untuk mencegah masuknya perempuan di arena publik. Karena itu, ketika perempuan diberi
ruang perlakuan khusus atau afirmasi 30 % calon legislatif perempuan, tidak
serta-merta membantu menaikkan jumlah anggota parlemen perempuan (APP) secara
signifikan dan kualitas APP perempuan. Pasalnya, calon perempuan selalu kalah
bersaing dengan calon laki-laki.
Secara umum, sistem masyarakat patriarki merupakan penyebab kekalahan calon perempuan. Sekalipun jumlah pemilih perempuan cukup besar, mereka adalah masyarakat patriarki yang menentukan pilihan berdasarkan kekuasaan laki-laki, tidak hanya di dalam rumah, tetapi juga di masyarakat. Di pihak lain, calon laki-laki sudah lama menguasai struktur partai politik dan lebih berpengalaman. Karena itu, calon laki-laki menguasai medan kompetisi, sedangkan perempuan bukan hanya tidak menguasai struktur partai politik, tetapi mereka juga buta mengenai struktur partai politik yang dijadikan kendaraan. Calon laki-laki juga menguasai dana lebih baik dari pada perempuan, karena sebagian besar mereka adalah incumbent. Dan jangan lupa, laki-laki memiliki standar moral yang lebih rendah sehingga mereka cenderung memanfaatkan semua peluang.
Kepada penulis yang mewawancarai APP di beberapa kabupaten/kota di Sulawesi Selatan yang terpilih pada pemilihan legislatif tahun 2009, sebagian menyatakan bahwa, ketika mencalonkan diri, mereka tidak yakin terpilih karena berhadapan dengan calon laki-laki yang mempunyai dana besar dan menggunakan segala macam cara untuk menang.
Memperkuat Kapasitas
Ketika telah menjadi anggota parlemen pun, APP belum bisa berbuat banyak. Selain karena jumlah yang kecil, juga soal kualitas. Cerita tentang anggota parlemen yang hanya datang, duduk, dan diam adalah cerita yang sudah umum, baik anggota perlemen laki-laki, apalagi perempuan. Cerita mengenai anggota parlemen yang tidak bisa berbuat apa-apa, tidak berbeda dengan profesi lainnya di negeri ini. Namun, mengeluhkan situasi yang ada juga tidak menyelesaikan masalah. Bagaimana pun jumlah APP yang terus meningkat walaupun tidak signifikan, harus disikapi dengan mendukung dan memperkuat kapasitas mereka untuk bisa berbuat lebih banyak dan lebih baik.
Ketika diberi kesempatan dan
diperkuat kapasitas mereka, APP bisa melihat permasalahan-permasalahan serius
yang sebelumnya tidak pernah dipikirkan oleh anggota parlemen laki-laki.
Sepanjang tahun 2009-2014, beberapa Peraturan Daerah (Perda) yang lahir dari
inisiasi APP. Perda-perda tersebut mengatur permasalahan penting dan serius,
seperti kemiskinan, hak perempuan dan anak, hak kaum disabilitas, dan hak kelompok
minoritas lainnya.
Tahun 2009-2014, beberapa lembaga (LSKP, ICJ, Yayasan Bakti) turut serta meningkatkan kapasitas APP yang harus diakui memberi kontribusi positif, baik APP maupun citra parlemen, yang dianggap semakin peduli rakyat. APP juga mempunyai kemauan untuk belajar karena menyadari kekurangannya. Dibanding anggota parlemen laki-laki yang secara umum menganggap dirinya mempunyai kemampuan sehingga menganggap dirinya tahu dan paham segalanya. Upaya meningkatkan kapasitas APP harus dilakukan terus-menerus dan dalam jangka panjang untuk melihat pengaruh dan dampak yang lebih signifikan tidak hanya APP, tetapi juga parlemen dan kualitas hidup masyarakat. Selama ini, kaum miskin, perempuan, anak, kelompok minoritas, dan kaum marjinal lainnya merupakan pihak yang kualitas hidupnya paling rendah, karena mereka tidak dihitung dan diabaikan dalam kebijakan, termasuk di parlemen yang didominasi oleh laki-laki.
Tahun 2009-2014, beberapa lembaga (LSKP, ICJ, Yayasan Bakti) turut serta meningkatkan kapasitas APP yang harus diakui memberi kontribusi positif, baik APP maupun citra parlemen, yang dianggap semakin peduli rakyat. APP juga mempunyai kemauan untuk belajar karena menyadari kekurangannya. Dibanding anggota parlemen laki-laki yang secara umum menganggap dirinya mempunyai kemampuan sehingga menganggap dirinya tahu dan paham segalanya. Upaya meningkatkan kapasitas APP harus dilakukan terus-menerus dan dalam jangka panjang untuk melihat pengaruh dan dampak yang lebih signifikan tidak hanya APP, tetapi juga parlemen dan kualitas hidup masyarakat. Selama ini, kaum miskin, perempuan, anak, kelompok minoritas, dan kaum marjinal lainnya merupakan pihak yang kualitas hidupnya paling rendah, karena mereka tidak dihitung dan diabaikan dalam kebijakan, termasuk di parlemen yang didominasi oleh laki-laki.
Jika program MAMPU yang dilaksanakan oleh Yayasan Bakti di beberapa daerah di Kawasan Timur Indonesia, yang direncanakan berdurasi panjang (sekitar 8 tahun) terlaksana sesuai rencana, maka pembelajaran yang baik mengenai peningkatkan kapasitas APP dan stakeholders terkait, akan sangat berguna untuk direplikasi dan menjadi contoh di negeri ini maupun negara lain. Peningkatan kapasitas APP diharapkan berkontribusi pada perubahan pada perspektif dan struktur relasi di dalam parlemen yang lebih feminin : empati dan peduli terhadap rakyat.(*)
Oleh;
M Ghufran H Kordi K
Pengamat Sosial
M Ghufran H Kordi K
Pengamat Sosial