DPR Mewakili Siapa...?
DPR Mewakili Siapa?
Oleh Rijal
Mahasiswa Pascasarjana UNISMUH Makassar
Pada 1 Oktober Badan Pewakilan Politik atau biasa disebut DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) akan dilantik. Berdasarkan hasil pemilihan legislatif tahun 2014 yang mendominasi adalah pendatang baru. Kita berharap wakil kita ini bisa memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebagaimana kita ketahui bersama fungsi dari lembaga legislatif adalah pembuat undang-undang (legislasi), penganggaran (budgeting) dan pengawasan (controlling).
Setelah pelantikan DPR disusul kemudian pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, yaitu Jokowi-JK yang berhasil menjadi pemenang dalam pesta demokrasi yang dilakukan 5 tahun sekali. Ini juga yang menjadi tantangan besar bagi presiden dan Wakil Presiden terpilh, karena berdasarkan perhitungan kekuatan di parlemen di dominasi oleh koalisi merah putih.
Yang menjadi tantangan terbesar dalam pelaksanaan roda pemerintahan untuk 5 tahun ke depan sangat rumit, karena akan terjadi tumpang tindih (configency) dan tarik ulur antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif, dan ini akan berdampak dalam proses implementasi kebijakan pemerintahan.
RUU Pilkada
Perubahan peraturan mengenai proses pemilihan kepala daerah yang menjadi issu nasional yang dibahas dan tidak lama lagi disahkan pada 25 september mendatang oleh legislator di senayan, seolah-olah menjadi problem di negara kita. Karena dengan dikembalikannya sistem pemilhan kepala daerah ke DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) ini bukan menjadi solusi yang baik untuk mengurangi tindak kecurangan atau politik uang (money politic) yang dilakukakan para kandidat calon gubernur, bupati atau walikota. Sebaliknya akan manambah mudah proses transaksi politik yang dilakukan oleh politisi.
Berdasarkan hasil survey Lingkaran Survey Indonesia (LSI) bahwa 80 persen masyarakat Indonesia menolak pemilhan yang dilaksanakan oleh DPRD dan hanya 20 persen yang setuju dengan pemilihan yang dilaksanakan di DPRD. Itu artinya masyarakat sudah paham dan mengerti dengan situasi politik yang terjadi dinegeri ini, karena dengan dikembalikannya sistem pemilihan kepala daerah ke DPRD itu berarti kita kembali ke zaman orde baru dan negara kita mengalami kemunduran demokrasi.
Yang menjadi persoalan para legislator di DPR tidak paham mengenai situasi perkembangan politik lokal di masing-masing daerah yang ada di negeri ini, dan sebagian besar para legislator kita bebas untuk menentukan apa saja kebijakan yang harus ditetapkan yang ada manfaatnya untuk kepentingan pribadi atau partai politik yang mengusungnya bukan berorientasi untuk kepentingan rakyat.
Tatib DPR RI
Perubahan Tata Tertib DPR yang dibahas di parlemen, seolah menjadi muatan politik yang mana untuk kepentingan segelintir orang atau partai politik pada umumnya. Kita melihat para legislator yang bergabung dikoalisi “tenda besar” tidak henti-hentinya berupaya meloloskan perubahan Tatib DPR RI pada Rapat Paripurna.
Yang menjadi pertanyaan buat kita semua rakyat Indonesia mengapa kubu merah putih memaksakan meloloskan peraturan tersebut. Ini menjadi bahan pertanyaan buat kita, apakah keputusan yang diambil oleh sebagian legislator di DPR untuk kepentingan rakyat atau hanya kepentingan partai politik?
Sebaliknya kita melihat banyaknya penolakan tentang RUU PILKADA dan UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, baik di tingkat pusat dan daerah, tidak membuat gentar para legislator di senayan. Seolah-olah mereka melihat bahwa penolakan yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat tidak digubris.
DPR Mewakili Siapa?
Pemilihan legislatif telah selesai dilaksanakan dan yang menjadi pertanyaan buat kita semua, DPR mewakili siapa? Cukuplah itu menjadi rahasia buat kita semua, karena kita melihat dewasa ini segelintir anggota legislatif tidak sadar bahwa mereka adalah perpanjangan tangan untuk menyampaikan aspirasi rakyat, tetapi itu semua berbanding terbalik dengan kenyataannya, karena masih ada anggota legislatif, baik pusat maupun daerah, yang tidak mengerti fungsi aspiratifnya. Artinya bagaimana para legislator ini dapat menyampaikan aspirasi dari rakyat Indonesia, bukan hanya ketiga fungsi utamanya.
Jadi jangan salah ketika anggota legislatif melupakan amanah rakyat, yaitu menyampaikan apa yang menjadi aspirasi rakyat pada umumnya. Ataukah para legislator kita hanya memperjuangkan aspirasi partai politiknya.
Menurut Prof.Yusril Ihza Mahendara bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung itu tidak diatur didalam UUD 45, tetapi pemilihan kepala daerah baik gubernur, bupati atau walikota bisa dipilih secara demokratis. Demokratis itu bisa langsung bisa juga tidak langsung. Sedangkan menurut Adnan Buyung Nasution mengatakan bahwa pikiran orang yang mau melakukan pemilihan melalui DPRD adalah pemikiran orang terbelakang dan dia mundur ke tahun 1998 dan ketika RUU PILKADA disahkan maka perjuangan rakyat sia-sia.
Ketika kita berbicara dalam konteks demokrasi, yang mana seringkali kita dengar bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat atau dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Semua itu seolah-olah tidak menjadi landasan yang kuat untuk melakukan suatu perubahan sistem demokrasi di mana harus merancang arah baru demokrasi yang lebih pro rakyat. Ini adalah tantangan bagi indonesia ke depanya.
Proses pemilihan kepala daerah harus dilaksakan serentak dengan pertimbangan dapat mengurangi anggaran penyelengaraan dan politik uang (money politic) yang dilakukan oleh salah satu calon nantinya. Perlu ada pengkajian mendalam mengenai jumlah partai politik yang ikut dalam pesta demokrasi, karena menurut penulis dengan banyaknya partai politik yang turut andil dalam penyelenggaraan pesta demokrasi, akan menambah anggaran yang digunakan partai politik untuk memenangkan salah satu calon. Ini bisa menjadi cikal bakal terjadinya korupsi ketika nantinya menduduki jabatan politik.
Seiring dengan itu sistem penyelengaraan pemilihan dan pemungutan suara harus menggunakan sistem E-Voting (electronic voting) atau menggunakan sistem IT seperti yang dilaksanakan di berbagai Negara maju, karena dengan menggunakan sistem ini lebih transparan dan menghemat biaya penyelengaraan pemilu, dan serta mengurangi tindak kecurangan/politik uang. Dengan begitu, tidak ada alasan pemilihan kepala daerah dipindahkan ke DPRD.(***)