Kebangsaan Sebagai Konsep Politik
Dalam sejarah Indonesia, periode paling jelas yang menandai lahirnya negara
kebangsaan adalah periode pegerakan nasional. Pada saat itu belum tampak sama
sekali konsep negara kebangsaan. Yang menonjol hanyalah konsep kebangsaan. Dan
kebangsaan sendiri bukan dimengerti sebagai himpunan suku-suku, melainkan
sebagai semacam "transendensi atas suku-suku", sesuatu yang mengatasi
suku-suku. Benih ini tampak, misalnya, dalam perjuangan perkumpulan Budi Utomo.
Semula perkumpulan Budi Utomo adalah "organisasi orang Jawa". Kemudian ketentuan ini diperluas menjadi organisasi Jawa umumnya, termasuk Madura (Lihat: Akira Nagazumi: Bangkitnya Nasionalisme Indonesia. Budi Utomo 1908-1918, 1989). Tujuannya adalah emansipasi orang Jawa dan Madura. Dalam perjalanan selanjutnya, pengertian ini dirasa terlalu sempit. Betul bahwa anggota Budi Utomo adalah kaum priyayi Jawa. Akan tetapi, apakah dengan demikian tujuannya hanyalah untuk mengemansipasikan orang Jawa? Tidakkah organisasi itu juga perlu untuk mengusahakan "persatuan seluruh Hindia"?
Atas dasar pertanyaan tersebut, Budi Utomo sendiri kemudian terpecah dalam dua kubu, kubu yang membela Jawanisme dan kubu yang memperjuangkan cita-cita kesatuan Hindia Belanda. Mereka yang pro- Jawanisme cenderung memandang kultur Jawa sebagai basis persatuan mereka. Kubu lawannya adalah mereka yang memandang kesatuan Hindia sebagai cita-cita mereka, dan tak bisa menerima homogenitas etnis atau kultural sebagai basis persatuan mereka. Bagi kubu yang kedua ini, persatuan Hindia tak mungkin dimengerti sebagai persatuan kultural. Persatuan Hindia harus dilihat sebagai persatuan politik dan harus diupayakan lewat kegiatan politik pula.(Ibid. hlm. 93)
Dalam kasus Budi Utomo ini tampak benih awal problem kebangsaan kita. Kebangsaan kita tak mungkin dimengerti sebagai himpunan keragaman kultural dan etnis yang de facto ada, melainkan sebagai persatuan yang dicita-citakan dari keragaman tersebut. Persatuan tersebut de facto belum ada, karena itu harus diupayakan lewat suatu kegiatan politik.
Dalam perkembangannya yang sangat awal, mayoritas anggota Budi Utomo menyadari, bahwa Jawanisme sendiri tidaklah memadai untuk menjadi landasan perjuangan mereka. Ini tampak, misalnya, dalam keputusan mereka untuk tidak menggunakan bahasa Jawa dalam rapat-rapat mereka. Kaum terpelajar yang menjadi anggota Budi Utomo mahir dalam bahasa Belanda. Akan tetapi, mereka mengakui, kemahiran bahasa Belanda itu adalah langka. Sementara mereka juga maklum, bahasa Jawa dengan tingkatannya yang berbelit-belit bukanlah bahasa yang tepat untuk rapat-rapat, apalagi bahasa tersebut tidak dapat dimengerti oleh orang Sunda dan Madura.
Maka, mereka memilih bahasa Melayu sebagai bahasa rapat mereka. Dalam kongresnya yang pertama, usulan rancangan anggaran dasar diuraikan dalam bahasa Melayu rendah, agar semua orang bisa mengerti. Dan pada kongres ke dua, diusulkan penggunaan bahasa Melayu, agar semua orang Jawa bisa mengerti. Oleh sebagian anggota, tepatnya kelompok yang radikal, usulan penggunaan bahasa Melayu itu juga dimaksudkan untuk mendobrak kebekuan tradisi.
Tujuan utama Budi Utomo adalah emansipasi kelompok. Akan tetapi, dalam konteks Hindia, mereka sadar, bahwa tujuan itu tak mungkin dicapai tanpa dibarengi dengan mengusahakan persatuan Hindia. Demi yang terakhir ini, mereka melepas bahasa Jawa dan memakai bahasa Melayu sebagai bahasa resmi perjuangan mereka. Penggunaan bahasa Melayu ini kiranya termasuk upaya politik mereka untuk makin efektif mengusahakan persatuan Hindia.
Dari sini kita boleh sedikit menyimpulkan, bahwa persatuan Hindia tak mungkin bisa diraih dengan hanya mendengung-dengungkan kesatuan kendati keragaman kultural. Persatuan dalam keragaman kultural itu harus diupayakan secara politik, dan itu berarti keberanian dari kelompok-kelompok etnis di dalamnya untuk melepas sebagian kebanggaan kultural yang dipunyainya. Demi persatuan Hindia, Budi Utomo sudah mengambil langkah-langkah politik. Toh oleh anggota kelompoknya yang radikal, langkah-langkah tersebut dianggap terlalu lamban. Sebagian anggota kelompok radikal adalah cikal bakal yang kemudian melahirkan Indische Partij dan Sarekat Islam. Sarekat Islam akhirnya menjadi pengecam keras Budi Utomo.
Menurut Sarekat Islam, para pejabat pemerintah, yang kebanyakan adalah priyayi, adalah kelompok yang ikut menindas dan menyengsarakan rakyat. Padahal anggota Budi Utomo kebanyakan adalah priyayi. Sarekat Islam menganggap, emansipasi tidak cukup dilakukan dengan kata-kata seperti dijalankan oleh Budi Utomo. Emansipasi itu harus dilaksanakan dalam aksi. Dan aksi ini bertujuan membela kepentingan rakyat banyak, kaum pribumi, jadi bukan sekelompok golongan saja.
Seperti dicetuskan dalam pertemuan Surabaya Mei 1912, program aksi Sarekat Islam dicanangkan dengan jelas. Yakni, mengembangkan semangat dagang di kalangan penduduk pribumi, membantu anggota yang kesulitan, yang tidak lantaran kesalahan mereka sendiri, pembangunan dan peningkatan jiwa dan semangat kebendaan dalam kalangan penduduk pribumi, melawan pikiran-pikiran keliru mengenai Islam dan mengembangkan hukum dan kebiasaan Islam (Ibid. hlm.146).
Suatu perubahan sosial di Hindia, itulah yang menjadi program emansipasi Sarekat Islam. Maka lain dengan Budi Utomo, yang lebih ingin meraih emansipasi dengan penyadaran lewat pendidikan, Sarekat Islam menganggap emansipasi itu sebagai aksi lewat pembangunan semangat dagang dan keislaman.
Dalam waktu dekat ternyata Sarekat Islam mendapat dukungan massa banyak. Munculnya Sarekat Islam memberi dimensi baru bagi cita-cita persatuan Hindia: persatuan itu harus mencakup massa rakyat banyak, kaum pribumi, dan itu harus dijalankan dengan suatu perubahan nasib orang banyak secara material. Titik berat keprihatinan Sarekat Islam adalah aksi politik, yang mengarah pada perbaikan nasib massa pribumi di bidang ekonomi.
Semula perkumpulan Budi Utomo adalah "organisasi orang Jawa". Kemudian ketentuan ini diperluas menjadi organisasi Jawa umumnya, termasuk Madura (Lihat: Akira Nagazumi: Bangkitnya Nasionalisme Indonesia. Budi Utomo 1908-1918, 1989). Tujuannya adalah emansipasi orang Jawa dan Madura. Dalam perjalanan selanjutnya, pengertian ini dirasa terlalu sempit. Betul bahwa anggota Budi Utomo adalah kaum priyayi Jawa. Akan tetapi, apakah dengan demikian tujuannya hanyalah untuk mengemansipasikan orang Jawa? Tidakkah organisasi itu juga perlu untuk mengusahakan "persatuan seluruh Hindia"?
Atas dasar pertanyaan tersebut, Budi Utomo sendiri kemudian terpecah dalam dua kubu, kubu yang membela Jawanisme dan kubu yang memperjuangkan cita-cita kesatuan Hindia Belanda. Mereka yang pro- Jawanisme cenderung memandang kultur Jawa sebagai basis persatuan mereka. Kubu lawannya adalah mereka yang memandang kesatuan Hindia sebagai cita-cita mereka, dan tak bisa menerima homogenitas etnis atau kultural sebagai basis persatuan mereka. Bagi kubu yang kedua ini, persatuan Hindia tak mungkin dimengerti sebagai persatuan kultural. Persatuan Hindia harus dilihat sebagai persatuan politik dan harus diupayakan lewat kegiatan politik pula.(Ibid. hlm. 93)
Dalam kasus Budi Utomo ini tampak benih awal problem kebangsaan kita. Kebangsaan kita tak mungkin dimengerti sebagai himpunan keragaman kultural dan etnis yang de facto ada, melainkan sebagai persatuan yang dicita-citakan dari keragaman tersebut. Persatuan tersebut de facto belum ada, karena itu harus diupayakan lewat suatu kegiatan politik.
Dalam perkembangannya yang sangat awal, mayoritas anggota Budi Utomo menyadari, bahwa Jawanisme sendiri tidaklah memadai untuk menjadi landasan perjuangan mereka. Ini tampak, misalnya, dalam keputusan mereka untuk tidak menggunakan bahasa Jawa dalam rapat-rapat mereka. Kaum terpelajar yang menjadi anggota Budi Utomo mahir dalam bahasa Belanda. Akan tetapi, mereka mengakui, kemahiran bahasa Belanda itu adalah langka. Sementara mereka juga maklum, bahasa Jawa dengan tingkatannya yang berbelit-belit bukanlah bahasa yang tepat untuk rapat-rapat, apalagi bahasa tersebut tidak dapat dimengerti oleh orang Sunda dan Madura.
Maka, mereka memilih bahasa Melayu sebagai bahasa rapat mereka. Dalam kongresnya yang pertama, usulan rancangan anggaran dasar diuraikan dalam bahasa Melayu rendah, agar semua orang bisa mengerti. Dan pada kongres ke dua, diusulkan penggunaan bahasa Melayu, agar semua orang Jawa bisa mengerti. Oleh sebagian anggota, tepatnya kelompok yang radikal, usulan penggunaan bahasa Melayu itu juga dimaksudkan untuk mendobrak kebekuan tradisi.
Tujuan utama Budi Utomo adalah emansipasi kelompok. Akan tetapi, dalam konteks Hindia, mereka sadar, bahwa tujuan itu tak mungkin dicapai tanpa dibarengi dengan mengusahakan persatuan Hindia. Demi yang terakhir ini, mereka melepas bahasa Jawa dan memakai bahasa Melayu sebagai bahasa resmi perjuangan mereka. Penggunaan bahasa Melayu ini kiranya termasuk upaya politik mereka untuk makin efektif mengusahakan persatuan Hindia.
Dari sini kita boleh sedikit menyimpulkan, bahwa persatuan Hindia tak mungkin bisa diraih dengan hanya mendengung-dengungkan kesatuan kendati keragaman kultural. Persatuan dalam keragaman kultural itu harus diupayakan secara politik, dan itu berarti keberanian dari kelompok-kelompok etnis di dalamnya untuk melepas sebagian kebanggaan kultural yang dipunyainya. Demi persatuan Hindia, Budi Utomo sudah mengambil langkah-langkah politik. Toh oleh anggota kelompoknya yang radikal, langkah-langkah tersebut dianggap terlalu lamban. Sebagian anggota kelompok radikal adalah cikal bakal yang kemudian melahirkan Indische Partij dan Sarekat Islam. Sarekat Islam akhirnya menjadi pengecam keras Budi Utomo.
Menurut Sarekat Islam, para pejabat pemerintah, yang kebanyakan adalah priyayi, adalah kelompok yang ikut menindas dan menyengsarakan rakyat. Padahal anggota Budi Utomo kebanyakan adalah priyayi. Sarekat Islam menganggap, emansipasi tidak cukup dilakukan dengan kata-kata seperti dijalankan oleh Budi Utomo. Emansipasi itu harus dilaksanakan dalam aksi. Dan aksi ini bertujuan membela kepentingan rakyat banyak, kaum pribumi, jadi bukan sekelompok golongan saja.
Seperti dicetuskan dalam pertemuan Surabaya Mei 1912, program aksi Sarekat Islam dicanangkan dengan jelas. Yakni, mengembangkan semangat dagang di kalangan penduduk pribumi, membantu anggota yang kesulitan, yang tidak lantaran kesalahan mereka sendiri, pembangunan dan peningkatan jiwa dan semangat kebendaan dalam kalangan penduduk pribumi, melawan pikiran-pikiran keliru mengenai Islam dan mengembangkan hukum dan kebiasaan Islam (Ibid. hlm.146).
Suatu perubahan sosial di Hindia, itulah yang menjadi program emansipasi Sarekat Islam. Maka lain dengan Budi Utomo, yang lebih ingin meraih emansipasi dengan penyadaran lewat pendidikan, Sarekat Islam menganggap emansipasi itu sebagai aksi lewat pembangunan semangat dagang dan keislaman.
Dalam waktu dekat ternyata Sarekat Islam mendapat dukungan massa banyak. Munculnya Sarekat Islam memberi dimensi baru bagi cita-cita persatuan Hindia: persatuan itu harus mencakup massa rakyat banyak, kaum pribumi, dan itu harus dijalankan dengan suatu perubahan nasib orang banyak secara material. Titik berat keprihatinan Sarekat Islam adalah aksi politik, yang mengarah pada perbaikan nasib massa pribumi di bidang ekonomi.