“Evoluasi Teori Organisasi”
Teori organisasi yang
ada sekarang ini merupakan hasil dari sebuah proses evolusi. Selama beberapa dekade,
para akademisi dan praktisi dari berbagai latar belakang dan perspektif telah
mengkaji dan menganilisis organisasi-organisasi. Tujuannya adalah bagaimana
kita mengetahui gambaran singkat mengenai kontribusi-kontribusi tersebut serta
untuk menunjukkan bagaimana kita sampai pada keadaan sekarang. Organisasi-organisasi
yang ada pada saat ini mencerminkan suatu pola perkembangan yang kumulatif, pandangan pandangan baru cenderung mencerminkan
keterbatasan dari teori-teori terdahulu.
Mengembangkan sebuah kerangka kerja
Ada beberapa kejadian
penting sebelum abab ke dua puluh. Namun, masalah yang sebenarnya, terletak
pada pengembangan sebuah kerangka kerja
yang secara memuaskan dapat memperlihatkan sifat evolusioner dari teori-teori
organisasi kontemporer.
Dimensi dasar dalam evolusi teori
organisasi
1.
Perspektif sistem
a.
Terbuka, yakni menekankan pentingnya
organisasi memperhatikan peristiwa dan proses yang terjadi di lingkungannya.
b.
Tertutup, dipandang berdiri sendiri dan
tertutup dengan lingkungannya.
2.
Perspektif tujuan
a.
Rasional, yakni struktur organisasi
sebagai alat mencapai tujuan.
b.
Sosial, yakni struktur merupakan hasil
utama dari kekuasaan.
Evolusi Teori Organisasi Kontemporer
Kerangka waktu
|
1900-1930
|
1930-1960
|
1960-1975
|
1975-?
|
Perspektif sistem
|
Tertutup
|
Tertutup
|
Tertutup
|
Terbuka
|
Perspektif tujuan
|
Rasional
|
Sosial
|
Rasional
|
Sosial
|
Fokus
|
Efisiensi mekanis
|
Orang dan hubungan manusia
|
Desain-desain kontingensi
|
Kekuasaan dan politik
|
Klasifikasi teoretis
|
Tipe 1
|
Tipe 2
|
Tipe 3
|
Tipe 4
|
Kontribusi Awal Evolusi Teori Organisasi
Hanry Ford dan Adam smith telah menyimpulkan bahwa
pembagian kerja dapat mengahsilkan efisiensi ekonomi yang mencolok serta
pembangunan pabrik membutuhkan penciptaan yang terus menerus bdari struktur
organisasi untuk memungkinkan terjadinya proses produksi yang effisien.
A. Teoretikus tipe 1
1.
Frederick Taylor dan Scientific
Management, yakni dengan menggunakan metode ilmiah. Memusatkan perhatian
pada tingkat paling rendah. Terdapat empat prinsip antara lain penggantian
metode untuk menentukan elemen dari pekerja, seleksi dan pelatihan kerja,
kerjasama antara atasan dengan bawahan, pembagian tanggung jawab secara merata.
2.
Henry Fayol dan
Prinsip-prinsip Organisasi, yakni menggunakan pengalamannya bertahun-tahun
sebagai praktisi eksekutif. Memusatkan perhatian pada tingkat manajer. Terdapat
14 prinsip antara lain pembagian kerja, wewenang, disiplin, kesatuan komando,
kesatuan arah, mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi,
remunerasi atau adil dalam pembagian gaji, sentralisasi, rantai saklar, tata
tertib, keadilan, stabilitas masa kerja pegawai, inisiatif, esprit de corps.
3.
Max Weber dan Birokrasi,
yakni dengan pengembangan model structural atau struktur ideal dan lebih
menggambarkan hipotesis dari pada kejadian nyata yang terstruktur.
4.
Ralph Davis dan
Perencanaan Rasional. Perencanaan formal manajemen menentukan tujuan
organisasi kemudian dalam urutan yang logis menentukan pengembangan struktur,
arus wewenang, serta hubungan lain.
B.
Teoretikus tipe 2
1. Elton Mayo dan kajian Hawthorne. Para manajer mempertimbangkan akibat
terhadap kelompok kerja, sikap pegawai, dan hubungan antara manajemen dan
pegawai.
2. Chester Bernard dan sistem kerja sama. Para manajer mengorganisasi di sekitar persyaratan tugas yang harus
dilaksanakan dan kebutuhan dari orang yang akan melaksanakannya.
3. Douglas McGregor dan teori X&Y. Asumsi teori Y lebih disukai dan asumsi itu harus dapat membimbing para
manajer dalam merancang organisasi mereka dan dalam memotivasi pegawai.
4. Warren Bennis dan matinya birokrasi atau yang disebut adokrasi, yakni merupakan alat untuk menjawab perubahan,
membantu inovasi, dan mengkoordinasikan spesialis yang beraneka ragam.
(Robbins, 1994,329) Dimana adanya koordinasi disekitar masalah yang harus
dipecahkan oleh kelompok atau orang yang relative tidal kenal dan mempunyai
berbagai keterampilan professional.
C. Teoretikus tipe 3
1.
Herbert Simon dan serangan terhadap prinsip-prinsip. Teori organisasi perlu melebihi prinsip dangkal dan terlalu disederhanakan
bagi suatu kajian mengenai kondisi yang dibawahnya dapat dditerapkan prinsip
yang saling bersaing.
2.
Perspektif Lingkungan dari Katz dan Khan. Perlunya organisasi
menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah jika mereka ingin dapt
bertahan hidup.
3.
Kasus Teknologi. Pentingnya teknologi didalam menentukan
struktur yang paling sesuai.
4.
Kelompok Aston dan besaran organisasi. Besaran (size)
organisasi sebagai sebuah factor penting yang memengaruhi struktur.
D. Teoretikus tipe 4
1. Batas-batas Kognitif Terhadap Rasionalisasi
dari March&Simon. Keterbatasan rasional pengambil
keputusan yang cenderung memiliki alternative yang memuaskan serta mengakui
keberadaan tujuan yang saling bertentangan.
2. Organisasi Pfeffer sebagai Arena Politik. Organisasi dirancang atas penilaian prefensi dan kepentingan dari mereka
yang berada di dalam organisasi yang mempunyai pengaruh terhadap pengambilan
keputusan mengenai desain tersebut. Pandangan ini yang sekarang sedang digemari.
Simpulan
:
Teori
organisasi modern dimulai dengan karya-karya para teoretikus Tipe 1. Mereka
sangat menggantungkan diri pada prinsip-prinsip yang simplisistik dan universal
dan mengembangkan model organisasi yang terlalu rasional dan mekanistis. Para teoretikus
Tipe 2. Sampai pada tingkat tertentu, mewakili pandangan tandingan terhadap
pandangan rasional-mekanistis tersebut. Fokus kemudian menjauh dari pembagian kerja
dan kekuasaan yang disentralisasi ke arah organisasi yang demokratis. Faktor manusiawi
yang cenderung diperlakukan sebagai sesuatu yang “biasa” dapat diramalkan oleh
para teoretikus Tipe 1, menjadi yang paing utama, sebagai inti dari teori
organisasi pada tahun-tahun antara 1930 dan 1960. Keadaan teori organisasi
dewasa ini lebih mencerminkan kontribusi para teoretikus Tipe 3 dan 4. Para pendukung
pandangan contingency mengambil alih pandangan yang diberikan oleh para
teoretikus sebeumnya dan menyusunnya kembali kedalam konteks situasional.
Selama ini, parlemen (DPR/DPRD)
identik dengan arena laki-laki. Bukan hanya karena parlemen (dan politik)
didominasi oleh manusia berjenis kelamin laki-laki, tetapi juga merupakan arena
yang dianggap keras, kasar, kotor, licik, dan sejumlah stigma lainnya, yang
dianggap sebagai wilayah laki-laki. Karena
itu, perempuan yang berhasil menjadi anggota parlemen dianggap sebagai
perempuan hebat dan kuat, karena mampu bersaing dengan laki-laki. Namun,
anggapan ini tidak selalu positif bagi perempuan. Perempuan yang dianggap
“hebat” atau “kuat” dan dapat bersaing dengan laki-laki, karena menggunakan
cara-cara yang yang juga keras, kasar, kotor, dan licik. Penggambaran perempuan bisa bersaing atau dapat
mengalahkan laki-laki selalu identik dengan penggunaan cara-cara dan kekuatan
negatif. Lihatlah film dan sinetron yang menggambarkan perempuan kuat dan dapat
mengalahkan laki-laki sebagai Mak Lampir, Nyi Roro Kidul, Suster Ngesot, setan,
hantu, dan penjahat lainnya. Padahal, untuk menjadi anggota parlemen,
seperti profesi di wilayah publik lainnya, selalu menghendaki kemampuan,
keahlian, jaringan, dan strategi. Apa yang dilakukan oleh laki-laki untuk
menjadi anggota parlemen atau meraih suatu profesi di wilayah publik, itu juga
yang dilakukan oleh perempuan.
Kalah Jumlah
Sejarah memberi pelajaran bahwa, dominasi terhadap jenis kelamin, ras, warna kulit, dan kehidupan sosial-ekonomi, bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah atau turun dari langit, melainkan dibuat, disosialisasi, dan dilestarikan oleh kekuasaan. Perempuan dibuat untuk menjadi manusia kelas dua di berbagai ras, warna kulit, dan kelompok sosial dengan berbagai legitimasi, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Karena itu, ketika perempuan menempati posisi minoritas dalam berbagai arena publik, termasuk di parlemen, bukan karena perempuan kalah dalam jumlah, atau mereka hanya mewakili kelompok kecil, tetapi karena mereka dibuat sehingga kalah dalam kualitas dan kesempatan.
Kalah Jumlah
Sejarah memberi pelajaran bahwa, dominasi terhadap jenis kelamin, ras, warna kulit, dan kehidupan sosial-ekonomi, bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah atau turun dari langit, melainkan dibuat, disosialisasi, dan dilestarikan oleh kekuasaan. Perempuan dibuat untuk menjadi manusia kelas dua di berbagai ras, warna kulit, dan kelompok sosial dengan berbagai legitimasi, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Karena itu, ketika perempuan menempati posisi minoritas dalam berbagai arena publik, termasuk di parlemen, bukan karena perempuan kalah dalam jumlah, atau mereka hanya mewakili kelompok kecil, tetapi karena mereka dibuat sehingga kalah dalam kualitas dan kesempatan.
Untuk menjadi politisi dan
anggota parlemen, perempuan sudah sangat jauh tertinggal. Pendidikan yang
dianggap sebagai institusi untuk mempersiapkan sumber daya manusia menampung
jumlah perempuan yang banyak di tingkat pendidikan terendah (SD). Jumlah
perempuan terus menurun di tingkat pendidikan yang semakin tinggi (SMP, SMA,
PT). Demikian juga kesempatan perempuan untuk meningkatkan kapasitas melalui
organisasi dan perkumpulan sering terhalang oleh sistem masyarakat patriarki. Kesempatan perempuan mengembangkan karir di
arena politik tidak selalu mulus, karena terhalang oleh berbagai kultur dan
struktur sosial. Laki-laki yang mempunyai kekuasaan (politik, ekonomi, sosial,
agama) tidak rela dipimpin oleh perempuan. Karena itu, segala macam cara
dilakukan oleh laki-laki untuk mencegah masuknya perempuan di arena publik. Karena itu, ketika perempuan diberi
ruang perlakuan khusus atau afirmasi 30 % calon legislatif perempuan, tidak
serta-merta membantu menaikkan jumlah anggota parlemen perempuan (APP) secara
signifikan dan kualitas APP perempuan. Pasalnya, calon perempuan selalu kalah
bersaing dengan calon laki-laki.
Secara umum, sistem masyarakat patriarki merupakan penyebab kekalahan calon perempuan. Sekalipun jumlah pemilih perempuan cukup besar, mereka adalah masyarakat patriarki yang menentukan pilihan berdasarkan kekuasaan laki-laki, tidak hanya di dalam rumah, tetapi juga di masyarakat. Di pihak lain, calon laki-laki sudah lama menguasai struktur partai politik dan lebih berpengalaman. Karena itu, calon laki-laki menguasai medan kompetisi, sedangkan perempuan bukan hanya tidak menguasai struktur partai politik, tetapi mereka juga buta mengenai struktur partai politik yang dijadikan kendaraan. Calon laki-laki juga menguasai dana lebih baik dari pada perempuan, karena sebagian besar mereka adalah incumbent. Dan jangan lupa, laki-laki memiliki standar moral yang lebih rendah sehingga mereka cenderung memanfaatkan semua peluang.
Kepada penulis yang mewawancarai APP di beberapa kabupaten/kota di Sulawesi Selatan yang terpilih pada pemilihan legislatif tahun 2009, sebagian menyatakan bahwa, ketika mencalonkan diri, mereka tidak yakin terpilih karena berhadapan dengan calon laki-laki yang mempunyai dana besar dan menggunakan segala macam cara untuk menang.
Memperkuat Kapasitas
Ketika telah menjadi anggota parlemen pun, APP belum bisa berbuat banyak. Selain karena jumlah yang kecil, juga soal kualitas. Cerita tentang anggota parlemen yang hanya datang, duduk, dan diam adalah cerita yang sudah umum, baik anggota perlemen laki-laki, apalagi perempuan. Cerita mengenai anggota parlemen yang tidak bisa berbuat apa-apa, tidak berbeda dengan profesi lainnya di negeri ini. Namun, mengeluhkan situasi yang ada juga tidak menyelesaikan masalah. Bagaimana pun jumlah APP yang terus meningkat walaupun tidak signifikan, harus disikapi dengan mendukung dan memperkuat kapasitas mereka untuk bisa berbuat lebih banyak dan lebih baik.
Ketika diberi kesempatan dan
diperkuat kapasitas mereka, APP bisa melihat permasalahan-permasalahan serius
yang sebelumnya tidak pernah dipikirkan oleh anggota parlemen laki-laki.
Sepanjang tahun 2009-2014, beberapa Peraturan Daerah (Perda) yang lahir dari
inisiasi APP. Perda-perda tersebut mengatur permasalahan penting dan serius,
seperti kemiskinan, hak perempuan dan anak, hak kaum disabilitas, dan hak kelompok
minoritas lainnya.
Tahun 2009-2014, beberapa lembaga (LSKP, ICJ, Yayasan Bakti) turut serta meningkatkan kapasitas APP yang harus diakui memberi kontribusi positif, baik APP maupun citra parlemen, yang dianggap semakin peduli rakyat. APP juga mempunyai kemauan untuk belajar karena menyadari kekurangannya. Dibanding anggota parlemen laki-laki yang secara umum menganggap dirinya mempunyai kemampuan sehingga menganggap dirinya tahu dan paham segalanya. Upaya meningkatkan kapasitas APP harus dilakukan terus-menerus dan dalam jangka panjang untuk melihat pengaruh dan dampak yang lebih signifikan tidak hanya APP, tetapi juga parlemen dan kualitas hidup masyarakat. Selama ini, kaum miskin, perempuan, anak, kelompok minoritas, dan kaum marjinal lainnya merupakan pihak yang kualitas hidupnya paling rendah, karena mereka tidak dihitung dan diabaikan dalam kebijakan, termasuk di parlemen yang didominasi oleh laki-laki.
Tahun 2009-2014, beberapa lembaga (LSKP, ICJ, Yayasan Bakti) turut serta meningkatkan kapasitas APP yang harus diakui memberi kontribusi positif, baik APP maupun citra parlemen, yang dianggap semakin peduli rakyat. APP juga mempunyai kemauan untuk belajar karena menyadari kekurangannya. Dibanding anggota parlemen laki-laki yang secara umum menganggap dirinya mempunyai kemampuan sehingga menganggap dirinya tahu dan paham segalanya. Upaya meningkatkan kapasitas APP harus dilakukan terus-menerus dan dalam jangka panjang untuk melihat pengaruh dan dampak yang lebih signifikan tidak hanya APP, tetapi juga parlemen dan kualitas hidup masyarakat. Selama ini, kaum miskin, perempuan, anak, kelompok minoritas, dan kaum marjinal lainnya merupakan pihak yang kualitas hidupnya paling rendah, karena mereka tidak dihitung dan diabaikan dalam kebijakan, termasuk di parlemen yang didominasi oleh laki-laki.
Jika program MAMPU yang dilaksanakan oleh Yayasan Bakti di beberapa daerah di Kawasan Timur Indonesia, yang direncanakan berdurasi panjang (sekitar 8 tahun) terlaksana sesuai rencana, maka pembelajaran yang baik mengenai peningkatkan kapasitas APP dan stakeholders terkait, akan sangat berguna untuk direplikasi dan menjadi contoh di negeri ini maupun negara lain. Peningkatan kapasitas APP diharapkan berkontribusi pada perubahan pada perspektif dan struktur relasi di dalam parlemen yang lebih feminin : empati dan peduli terhadap rakyat.(*)
Oleh;
M Ghufran H Kordi K
Pengamat Sosial
M Ghufran H Kordi K
Pengamat Sosial
Jika kamu membenci seseorang, janganlah terlalu membencinya, sebaliknya jika kamu menyanyangi seseorang maka jangan pula terlalu menyayanginya. Yah kurang lebih inilah sebuah nasehat yang akan disampaikan oleh seseorang sebut saja namanya cinta dari pengalaman yang telah ia lalui. Jika diperhatikan lebih dalam kata-kata tersebut ada benarnya, sekalipun sulit untuk melakukannya, tidak terlalu membenci orang yg kita benci, dan tidak pula terlalu menyayangi orang yg kita sayang. Yah karena kita tahu bahwa sesuatu yang berlebihan itu tidaklah baik.
Cinta sendiri telah merasakannya dari sebuah pengalaman yang ia lalui, dan bukan tidak mungkin bahwa ia menyesali apa yang telah ia lakukan sehingga memberikan nasehat seperti itu. Yah sebuah pengalaman pahit namun juga indah. Pengalaman pahit namun juga indah, aneh memang. Tapi ini adalah sebuah kenyataan yang telah dirasakan sendiri oleh Cinta. Hampir di waktu yang sama ia kehilangan seseorang yang selama ini dia anggap sebagai seorang sahabat, namun pada saat itu pula ia akhirnya menemukan seseorang yang selama ini dia nantikan kehadirannya di hatinya. Yah, bisa dibilang dia menemukan kekasih hatinya di waktu yang sama ketika ia kehilangan sahabatnya. Seorang sahabat dan kekasih hati adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan ini, dua hal yang tidak bisa kita pilih salah satu dari mereka. Karena sahabat dan kekasih hati adalah pelengkap kehidupan ini. Namun, tidak dengan Cinta, meskipun ia menginginkan kedua hal tersebut, tidak berarti ia dapat memiliki keduanya. Hidup memang seperti itu, tidak selamanya apa yang kita inginkan juga akan kita dapatkan. Terkadang kita harus memilih satu dari dua hal, walaupun kita tidak ingin atau bahkan tidak pernah terpikir sedikitpun. Namun inilah kehidupan, yang harus kita jalani terus dan terus hingga akhirnya kita sampai di titik akhir.
Cinta telah kehilangan sahabatnya, sahabat yang sejak SMP sampai akhirnya ia diperguruan tinggi selalu menemani hari-harinya. Kebersamaan, waktu, dan juga beberapa kesamaan hal yang mereka sukai membuat Cinta dan sahabatnya Lia mampu bertahan sejauh ini. Namun justru Kebersamaan, waktu, dan juga beberapa kesamaan hal pada diri mereka itulah yang akhirnya membuat persahabatan mereka hancur. Cinta merasa telah dikhianati oleh Lia sahabatnya sendiri, namun itu bukan hanya sekadar perasaan Cinta karena memang pada kenyataannya Lia telah mengkhianati Cinta. Pengkhianatan itu terjadi ketika seseorang, sebut saja namanya Adri hadir di kehidupan mereka. Mahasiswa yang juga jurusan tekhnolgi itulah yang akhirnya menjadi penyebab persahabatan Cinta dan Lia hancur. Lia tahu bahwa selama ini Adri menyimpan perasaan yang lebih ke Cinta, dan sebagai sahabatnya Cinta, Lia pun tahu betul bahwa Cinta mempunyai perasaan yang sama ke Adri. Dan entah kenapa ia merasa tidak rela jika Cinta dan Adri akhirnya bersama, karena ia sendiri juga mempunyai perasaan yang lebih sama Adri.
Pada hari yang begitu spesial bagi Adri, ia kemudian mengutarakan perasaannya kepada Cinta, meskipun Cinta mempunyai perasaan yang sama ke Adri, namun Cinta tidak langsung memberikan jawaban ke Adri, karena ia ingin meminta pendapat Lia terlebih dahulu, sebagai seorang sahabat Lia pasti tahu apa yang terbaik buat dirinya. Kurang lebih itulah yang dipikirkan Cinta. Namun justru Lia malah memanfaatkan kesempatan ini, meyakinkan Cinta bahwa Adri bukanlah orang yang pantas untuknya. Dengan berbagai cara akhirnya Lia pun berhasil meyakinkan Cinta bahwa Adri adalah seorang playboy dan tentang perasaan Adri kepadanya hanyalah sebuah bahan taruhan Adri kepada teman-temannya. Dan akhirnya Cinta membalas perasaan Adri dengan kata tidak. Itu berarti Cinta telah menolak Adri, karena kini ia telah membenci Adri, sangat membencinya. Orang yang dia anggap telah mempermainkan perasaannya. Dia lebih mempercayai sahabatnya sendiri. Sahabat yang telah mengkhianatinya.
Namun suatu hari, Cinta tidak sengaja menemukan buku harian Lia, ia pun membacanya karena dia pikir diantara mereka tidak ada sedikitpun rahasia, begitupun dengan buku harian yang menjadi rahasia terbesar Lia. Cinta terkejut ketika melihat buku harian tersebut, buku harian yang sebagian besar dipenuhi dengan tulisan tentang Adri dan penghianatan yang dilakukan Lia selama ini terhadapnya. Cinta sedih, karena ternyata orang yang selama ini dia sangat percaya telah menghianatinya hanya karena seorang laki-laki. Dia begitu sedih dan tidak tahu kepada siapa dia mencurahkan kesedihannya ini. Akhirnya, ia pun menghampiri Adri, meminta maaf kepadanya dan menceritakan segala apa yang telah dilakukan Lia terhadapnya. Adri kemudian menemani Cinta menemui Lia dan membahas segala apa yang telah terjadi. Namun Lia tetap saja mengingkari penghianatannya meskipun buktinya jelas ada yaitu buku hariannya sendiri. Lia lebih memilih untuk pergi meninggalkan Cinta. Cinta begitu sedih karena selama ini seorang sahabat yang begitu ia percaya telah menghianatinya dan lebih memilih pergi meninggalkannya dari pada meminta maaf terhadapnya. Namun, di sisi lain ia bahagia karena akhirnya ia menemukan kekasih hatinya, Adri.
“ THE END “
Ketika orang akan melakukan perkawinan, maka
sebenarnya di hadapannya terbentang pilihan-pilihan hukum. Hukum mana yang akan
dipilihnya akan sangat didasarkan pada perhitungan untung-rugi. Secara empiris,
UU Perkawinan tidak sepenuhnya dapat menjangkau semua lapisan masyarakat dengan
berbagai kondisi.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai status hukum anak yang dilahirkan di luar pernikahan, yang dikeluarkan pada 17 Februari 2012, adalah langkah maju dalam upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak di Indonesia. MK mengabulkan sebagian permohonan dalm uji materi UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. UU Perkawinan, khususnya pasal 2 (2) dan pasal 43 (1), digugat oleh Aisyah Mohtar (Macicha Mohtar) dan Muhammad Iqbal Ramadhan.
Pasal 43 (1) UU Perkawinan menyebutkan ôAnak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Putusan MK menyatakan bahwa pasal 43 (1) bertentangan dengan UUD 1945, sehingga ayat tersebut harus dibaca Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Putusan MK tersebut sudah pasti berdampak pada beberapa aspek kehidupan, karena itu menimbulkan polemik. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyatakan menolak putusan MK karena dinilai melanggar syariat Islam (Sindo, 14/05/2012). Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri melalui Mendargi Gamawan Fauzi, menyatakan mengalami kesulitan membuat mekanisme pemberian akta kelahiran terhadap anak yang lahir di luar perkawinan tersebut (Fajar, 22/02/2012).
Putusan MK tersebut adalah terobosan hukum, yang untuk masa yang akan datang berdampak positif terhadap pemenuhan hak-hak anak yang lahir di luar perkawinan. Namun jangan dulu bergembira, terutama bagi mereka yang terlibat dalam upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak maupun perempuan. Demikian juga bagi siapa saja yang menolak putusan tersebut, janganlah menilai sebagai langkah melegalkan penzinahan.
Data-Fakta
Di Indonesia, UU Perkawinan yang disahkan sejak tahun 1974, bukanlah satu-satunya acuan hukum bagi seseorang untuk melakukan perkawinan. Di samping hukum negara, ada pula hukum agama (tidak hanya agama-agama besar yang diakui oleh negara Indonesia, tetapi juga aliran kepercayaan), kemudian juga hukum adat, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang dianggap mengikat oleh para warga pendukungnya (Irianto, 2003).
Ketika orang akan melakukan perkawinan, maka sebenarnya di hadapannya terbentang pilihan-pilihan hukum. Hukum mana yang akan dipilihnya akan sangat didasarkan pada perhitungan untung-rugi. Secara empiris, UU Perkawinan tidak sepenuhnya dapat menjangkau semua lapisan masyarakat dengan berbagai kondisi.
Misalnya pasal 2 (2) yang mengatur tiap-tiap perkawinan harus dicatat. Pasal ini bahkan dirasa menjadi hambatan bagi sebagian masyarakat yang akan melangsungkan perkawinannya, dan inilah salah satu yang menyebabkan alasan mengapa orang melakukan kawin kontrak atau nikah sirri (Irianto, 2003). Perkawinan adalah lembaga suciùsebagaimana kegiatan ibadah lainnyaùnamun perkawinan juga adalah bisnis yang melibatkan tokoh agama, calo, kantor agama (KUA), dan Kantor Catatan Sipil.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai status hukum anak yang dilahirkan di luar pernikahan, yang dikeluarkan pada 17 Februari 2012, adalah langkah maju dalam upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak di Indonesia. MK mengabulkan sebagian permohonan dalm uji materi UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. UU Perkawinan, khususnya pasal 2 (2) dan pasal 43 (1), digugat oleh Aisyah Mohtar (Macicha Mohtar) dan Muhammad Iqbal Ramadhan.
Pasal 43 (1) UU Perkawinan menyebutkan ôAnak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Putusan MK menyatakan bahwa pasal 43 (1) bertentangan dengan UUD 1945, sehingga ayat tersebut harus dibaca Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Putusan MK tersebut sudah pasti berdampak pada beberapa aspek kehidupan, karena itu menimbulkan polemik. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyatakan menolak putusan MK karena dinilai melanggar syariat Islam (Sindo, 14/05/2012). Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri melalui Mendargi Gamawan Fauzi, menyatakan mengalami kesulitan membuat mekanisme pemberian akta kelahiran terhadap anak yang lahir di luar perkawinan tersebut (Fajar, 22/02/2012).
Putusan MK tersebut adalah terobosan hukum, yang untuk masa yang akan datang berdampak positif terhadap pemenuhan hak-hak anak yang lahir di luar perkawinan. Namun jangan dulu bergembira, terutama bagi mereka yang terlibat dalam upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak maupun perempuan. Demikian juga bagi siapa saja yang menolak putusan tersebut, janganlah menilai sebagai langkah melegalkan penzinahan.
Data-Fakta
Di Indonesia, UU Perkawinan yang disahkan sejak tahun 1974, bukanlah satu-satunya acuan hukum bagi seseorang untuk melakukan perkawinan. Di samping hukum negara, ada pula hukum agama (tidak hanya agama-agama besar yang diakui oleh negara Indonesia, tetapi juga aliran kepercayaan), kemudian juga hukum adat, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang dianggap mengikat oleh para warga pendukungnya (Irianto, 2003).
Ketika orang akan melakukan perkawinan, maka sebenarnya di hadapannya terbentang pilihan-pilihan hukum. Hukum mana yang akan dipilihnya akan sangat didasarkan pada perhitungan untung-rugi. Secara empiris, UU Perkawinan tidak sepenuhnya dapat menjangkau semua lapisan masyarakat dengan berbagai kondisi.
Misalnya pasal 2 (2) yang mengatur tiap-tiap perkawinan harus dicatat. Pasal ini bahkan dirasa menjadi hambatan bagi sebagian masyarakat yang akan melangsungkan perkawinannya, dan inilah salah satu yang menyebabkan alasan mengapa orang melakukan kawin kontrak atau nikah sirri (Irianto, 2003). Perkawinan adalah lembaga suciùsebagaimana kegiatan ibadah lainnyaùnamun perkawinan juga adalah bisnis yang melibatkan tokoh agama, calo, kantor agama (KUA), dan Kantor Catatan Sipil.
Sama saja, ketika negara melarang Pegawai Negeri Sipil (PNS) berpoligami, maka sebuah penelitian membuktikan bahwa di permukaan memang betul angka poligami dan perceraian menurun di kalangan PNS, tetapi bersamaan dengan itu bertambah pula jumlah nikah sirri, perselingkuhan, dan perempuan simpanan (Suryakusuma, 1991).
Artinya, negara tidak selalu mampu mengatur pelegalan hubungan kelamin dengan menggunakan undang-undang, peraturan, atau apa pun namanya. Apalagi hubungan kelamin itu harus diatur dengan menggunakan surat berbayar yang diterbitkan oleh KUA dan Kantor Catatan Sipil. Padahal negara tidak pernah mensubsidi biaya perkawinan yang terus menggila, sehingga banyak orang harus mengambil jalan lain dengan tidak memedulikan hukum negara maupun hukum agama.
Logikanya, karena negara telah campur tangan dalam urusan pelegalan hubungan kelamin, maka seharusnya pengaturannya tidak sepotong-sepotong. Negara harus memudahkan praktik perkawinan, termasuk bila perlu membuat harga dasar, yang harus diacu oleh setiap warga negara yang hendak melangsungkan perkawinan.
Negara melalui UU Perkwinan juga telah mengatur bahwa orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak sampai anak itu berdiri sendiri atau kawin (pasal 45). Kewajiban kedua orangtuanya tetap berlangsung, sekalipun terjadi percerairan (pasal 41). Kenyataannya, banyak sekali orang tua yang telah bercerai atau pun belum bercerai tidak memelihara (membiayai) anaknya, sekalipun telah diperintah oleh negara melalui Putusan Pengadilan, dari yang terendah (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama) hingga Mahkamah Agung.
Negara ternyata tidak bisa berbuat apa-apa, ketika para orang tua yang telah melakukan perkawinan secara sah, demikian pula bercerai secara sah menurut negara, namun tidak memelihara anak-anak mereka atau menelantarkan anak-anak mereka. Di Sulawesi Selatan, pengaduan terkait dengan masalah tersebut mencapai puluhan yang masuk ke Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan setiap tahunnya. Belum lagi pengaduan yang masuk ke lembaga-lembaga pemerhati anak dan perempuan lainnya, seperti FPMP, LBH APIK, LBP2I, dan P2TPA.
Di sisi lain, ada keluarga dari pihak laki-laki yang menginginkan agar anak yang lahir di luar perkawinan dapat mereka asuh dan akan memiliki hubungan keperdataan dengan keluarga mereka sebagai keluarga pihak laki-laki. LPA Sulawesi Selatan telah menerima 5 (lima) kasus, di mana pihak keluarga laki-laki berkeinginan membangun hubungan keperdataan dengan anak yang lahir di luar perkawinan. Namun sulit difasilitasi karena tidak ada instrumen hukum yang mengaturnya.
Perlindungan Anak
Perselingkuhan, perzinahan, atau pun hidup bersama tanpa pernikahan tentu tidak dibenarkan oleh hukum negara, agama, maupun budaya mayoritas suku bangsa di Indonesia. Namun, anak yang lahir dari praktik tersebut tidak boleh managgung beban dan menerima stigma dan label sebagai anak haram, anak alam, atau anak negara. Karena semua anak yang lahir dalam keadaan suci.
Ini adalah prinsip yang paling mendasar mengenai perlindungan anak, khsusunya dalam Islam. Tentu agama lain juga mempunyai prinsip yang sama. Karena itu, salah satu prinsip penting di dalam Konvensi Hak Anak (KHA) maupun Undang-Undang Perlindungan (UU No. 23/2002) adalah non-diskriminasi. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap anak, karena semua anak yang lahir adalah suci. Prinsip non-diskriminasi bukanlah sesuatu yang asal dicomot, tetapi mempunyai akar pada agama-agama maupun peradaban-peradaban besar dalam sejarah dunia.
Namun kenyataannya, negara, umat beragama, dan budaya masyarakat tidak bisa menerima bahwa semua anak yang lahir dalam keadaan suci. Istilah anak negara dan anak alam berasal dari negara. Istilah ôanak haramö berasal dari umat Islam, tentu terkait dengan penafsiran ajaran Islam, khususnya fiqh. Demikian pula, setiap budaya mempunyai istilah tertentu untuk anak yang lahir di luar perkawinan.***
Oleh;
M Ghufran H Kordi K
Diberdayakan oleh Blogger.
Arsip Blog
Mengenai Saya
Rijal PUSTAKA Celebes
Blog ini adalah blog untuk umum (PublicBlogg). Berbagi dalam kehidupan adalah hal yang tak bisa di sepelekan.